Filosofi Kopi

Judul buku: Filosofi Kopi – Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade 1995 – 2005
Penulis: Dee
Penyunting: Dhewiberta
Perancang Sampul: Fahmi Ilmansyah
Penata Aksara: Irevitari
Jumlah halaman: xiv + 142
Penerbit: Bentang Pustaka

Blurb

“Tidak ruwet, bahkan terang benderang, tak berarti tanpa isi yang menjentik kita untuk berpikir. Ada sebuah kata bahasa Inggris, wit, yang mungkin bisa diterjemahkan dengan ungkapan “cerkas”. Kumpulan prosa ini menghidupkan yang cerkas dalam sastra Indonesia.”

[Goenawan Mohamad]

Buku ini berisi 18 cerita yang ditulis oleh Dee sedari tahun 1995 hingga 2005. Dari prosa hingga cerita mini dan cerita pendek, tersaji saling mengisi dalam buku ini. Terdiri atas Filosofi Kopi yang menjadi judul cover buku, Mencari Herman, Surat yang Tak Pernah Sampai, Salju Gurun dan cerita-cerita yang lain, ditutup dengan Rico de Coro.

Saya baru membaca karya Dee, Rectoverso. Entah kenapa, saya memang lebih suka membaca kumpulan cerita pendek. Dibandingkan dengan Rectoverso, Filosofi Kopi jauh lebih “light” meskipun tetap membawa ciri khas Dee; runtut, insightful dan berirama tapi tak mendayu-dayu, diksi yang menawan bahkan kadang harus memaksa saya untuk mengecek sejenak ke artikata.com karena penasaran.

Seperti kata Dee, dalam Cuap-cuap Penulis, cinta tetap menjadi topik favorit dalam buku ini. Tapi semuanya diolah dan dimasak dengan cara dan bahan yang berbeda-beda. Tergantung kita sebagai objek dan subjek cinta menerjemahkan dan mengejawantahkannya.

Dalam buku ini, Dee menunjukkan bahwa cinta itu universal. Dalam tangan Dee, bahkan cinta bisa dirasakan oleh seekor kecoa terhadap seorang anak manusia. Absurd? Tidak juga. Saya sangat menghargai imajinasi, apalagi imajinasi seorang Dee. *ah, siapalah saya ini berani mengapresiasi imajinasi Dee πŸ˜† * Saya cuma lantas bertanya-tanya, jika cinta pun bisa ditransformasikan dalam rasa yang dirasakan oleh seekor kecoa, lalu kenapa saya dibilang harus merasa geje ketika menulis tentang balita yang jatuh cinta pada teman sebayanya?

Cinta itu bisa saja rasa obsesi terhadap seseorang, termasuk terhadap sesuatu, baik abstrak maupun yang kasat mata. Seperti pada cerita Filosofi Kopi, saya bisa merasakan betapa Ben begitu patah hati ketika kopinya tak mau ditaklukkan.

Cinta juga dapat ditransformasikan melalui sebentuk sikat gigi, juga sebongkah kue kuning. Cinta pun bisa diibaratkan seekor kuda liar, dan juga sebagai salju gurun.

Cinta itu… bebas!! Apalagi ketika dia sedang menjadi objek imajinasi seorang anak manusia.

“Karya adalah anak jiwa, dan ia sepatutnya hidup di alam terbuka. Ia akan lebih sehat dan kuat di sana, daripada dibekam dalam format bahasa biner,” begitu kata Dee.

Saya, tanpa merasa terpaksa, setuju.

Akhirnya kesimpulan saya, saya nggak salah menjadikan Dee sebagai tolok ukur saya dalam belajar menulis. πŸ™‚

Empat setengah dari lima bintang untuk buku ini.

6 Comments Add yours

  1. wah kyny ini buku oke punya nih…definisi cinta yg universal sekali ya…kecoa mencintai manusia, bgm yaaa???

    Like

    1. @RedCarra says:

      Baca aja πŸ˜€ recommended!

      Like

  2. ronal says:

    Bisa dijadikan kitab Mba ini buku…setiap kali otak buntu baca lagi dan lagi, otak cair kembali wkwkwk…
    Chapter Filosopi Kopi dan Mencari Herman is my favorit Mba πŸ˜€

    Like

    1. @RedCarra says:

      Kalo ngomongin kitab pencairan otak, coba baca Cemburu itu Peluru sama Dunia di Dalam Mata πŸ˜€ kalo aku sih 2 itu masih megang sampe saat ini πŸ˜€ lebih liar…

      Like

      1. ronal says:

        Ntar tak cari ya Mba..kalo lagi ke toko buku πŸ˜€

        Like

  3. Ryan says:

    buku ini buku pertama Dee yang saya baca dan membuat saya jatuh cinta sama dia…

    Like

Komennya, Kakak ^^