Review Buku: Malam Terakhir

Judul Buku: Malam Terakhir
Penulis: Leila S. Chudori
Perancang Sampul: Wendie Artswenda
Illustrator Sampul: Maryanto
Penata Letak: Bernadetta Esti WU
Jumlah halaman: xviii + 117
Penerbit: PT Gramedia

 

Leila bercerita tentang kejujuran, keyakinan, tekad, prinsip, dan pengorbanan… Banyak idiom dan metafor baru di samping pandangan falsafi yang terasa baru karena pengungkapan yang baru. Sekalipun bermain dengan khayalan, lukisan-lukisannya sangat kasat mata. -HB Jassin.

Dalam cerpen Air Suci Sita, ditulis di Jakarta 1987, Leila memulai ceritanya dengan kalimat ‘Tiba-tiba saja malam menabraknya.’ Sebuah kalimat padat yang sugestif dan kental. Dengan teknik bercerita yang menarik, Leila berhasil mengangkat gugatan mengapa hanya kesetiaan wanita yang dipersoalkan, bagaimana dengan kesucian pria? Sebagai awal dari perjalanan panjang Leila sebagai salah seorang penulis di masa depan, kumpulan ini penuh janji. – Putu Wijaya.

Memang dalam memulai sebuah cerita, Leila tak pernah memulainya dengan biasa-biasa saja. Dalam Air Suci Sita tadi misalnya. Atau opening line dalam Sehelai Pakaian Hitam; ‘Kupandang rangkaian semut merah yang muncul dari gundukan tanah yang menyimpan jasad Hamdani.’. Atau dalam Sepasang Mata Menatap Rain; ‘Matahari menatapku dengan penuh cela dari balik tirai.’ Tak ada yang biasa.

Cerita-ceritanya kebanyakan adalah pertentangan batin masing-masing tokoh. Sebut saja dalam Adila, yang menceritakan pertentangan batin seorang gadis cilik bernama Adila. Sebagai seorang gadis cilik, referensi literaturnya bahkan lebih daripada yang pernah dibaca oleh orang dewasa. Ini berkat ayahnya, yang suka membelikannya bacaan-bacaan yang bermutu. Ibunya? Ibunya tak lebih dari sebuah manekin bodoh yang otaknya hanya diisi oleh materi, yang gemar mengkritik apapun yang Adila lakukan. Dia bahkan tak pernah mencintai Adila, putrinya. Semua literatur-literatur bermutu tadi menemani Adila bermain sehari-hari. Dia berinteraksi dengan Ursula Brangwen, AS Neill, Stephen Dedalus dan lain-lain. Kesemuanya adalah tokoh-tokoh dalam buku-buku yang dibacanya. Mereka berinteraksi layaknya saling berhadapan, walaupun sebenarnya semua terjadi dalam imajinasi Adila. Bagaimana akhirnya? Menjadi agak tertebak dengan adanya clue di beberapa bagian, tapi tidak mengurangi surprise sama sekali dengan ironi yang diucapkan oleh Ibu Adila di akhir cerita.

Memang yang paling menarik buat saya adalah Adila, namun cerita-cerita yang lain juga mempunyai kekuatan masing-masing.

Dalam pengantarnya, Leila menulis, cerita pendek memiliki peraturan yang jauh lebih keras, lebih galak, lebih menekan daripada bentuk fiksi lainnya. Cerita pendek menyediakan ruang yang sempit untuk ledakan yang dahsyat. Cerita pendek sama sekali tidak memberi ijin penulisnya untuk ngoceh, ngalor ngidul atau seenaknya menghabiskan huruf, kata dan kertas untuk memamerkan kekenesan kata yang beragam.

Kalau cerita pendek dikatakan galak, lalu bagaimana mendeskripsikan sebuah FlashFiction ya? :mrgreen:

Lima dari lima bintang untuk buku ini.

3 Comments Add yours

  1. Jadi pengin baca bukunya. Lima dari lima bintang, menggugah selera banget ^^

    Like

    1. @RedCarra says:

      Coba baca, Mbak Vi. Recommended banget 🙂

      Like

  2. A. A. Muizz says:

    Ini memang buku yang keren. Bagiku, tak cukup sekali baca. 🙂

    Like

Komennya, Kakak ^^

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s