Lelaki yang Membelah Bulan

Judul buku: Lelaki yang Membelah Bulan
Penulis: Noviana Kusumawardhani
Editor: Maria Hartiningsih
Illustrator Sampul & Isi: Zeni Nugroho
Penataletak Sampul: Wendie Artswenda
Penataletak Isi: Dadang Kusmana
Jumlah halaman: xiv + 82 halaman
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

Blurb

Tokoh-tokoh dalam cerpen-cerpen Noviana Kusumawardhani terkesan aneh, magis, dan fantastis. Namun ketika tokoh-tokoh itu dimasukkan dalam setting cerita berupa kehidupan sehari-hari, mereka lantas terasa riil — berdarah dan berdaging seperti manusia biasa. Problem mereka pun adalah problem kita semua, seperti cinta dan kesetiaan, kesedigan dan kebahagiaan.

Delapan cerpen yang tersaji dalam buku ini tak syak membenarkan pendapat Goenawan Mohamad dalam pengantarnya bahwa, “Sejak Danarto, sastra dimungkinkan untuk bercerita tentang kehidupan yang ‘aneh’, yang tiba-tiba menyeruak dalam kehidupan sehari-hari. Novi meneruskan trend ini.”

* * *

Kumpulan cerpen ini terdiri atas delapan cerpen. Yaitu Rongga, Perempuan Senja, Lampion Merah Bergambar Phoenix, Lelaki yang Membelah Bulan, Peti Mati, Penari Hujan, Sebuah Pagi dan Seorang Lelaki Mati dan Pemburu Air Mata.

Daaaan iya! Akhirnya saya bisa menyelesaikan membaca buku ini.

Kenapa memang? Membosankan?

Engga juga.

Apa ya, ini kumpulan cerpen sastra yang keren malah. Butuh waktu beberapa lama buat menghayati tulisan-tulisan yang ada di dalamnya. Ada yang bilang, yang model begini ini pakenya bahasa dewa, ga semua orang ngerti. Iya, saya setuju banget 😆 tapi ternyata ada asiknya juga berusaha mendalami dan memahaminya. Cuma memerlukan waktu yang lebih lama sahaja. Begitu.

Bagaimana tidak menyebutnya berbahasa dewa? Sebagian besar cerita yang ada dalam buku kumpulan cerpen ini sudah pernah tayang di Kompas Minggu. Tahu kan, gimana itu cerpen-cerpen yang pernah tayang di sana? Pokoknya jenis-jenis yang susah banget dimengerti kadang.

Dari berapa cerpen yang ada dalam buku ini, saya suka cerita yang berjudul Rongga, Perempuan Senja dan Peti Mati.

Pada dasarnya, sebagian besar (mungkin malah semuanya) cerita pendek di sini, menceritakan tentang kesedihan dan air mata. Dalam catatan awalnya, Novi menyebutkan, “Orang sering takut untuk menangis dan menganggap air mata adalah sebuah bentuk kelemahan emosi yang tidak pantas untuk jiwa. Karena itu saya memakai tulisan saya sebagai upaya agar menerima air mata dan sisi gelap itu sendiri sebagai bentuk pembelajaran untuk lebih mencintai hati dan diri.”

Dengan kata lain, gunakanlah air mata sebagai alat untuk introspeksi diri.

Eh, kalimat yang di atas itu tidak termasuk dalam catatan penulis ya. Itu kesimpulan saya sendiri, sebagai pembaca.

Dan membaca cerpen-cerpennya, memang. Saya telah menemukan bahan refleksi diri yang luar biasa. Tentang air mata dan kesedihan yang bisa membuat “rongga” dalam diri kita. Yang kalau tidak ditutupi, akan menimbulkan infeksi dan sakit yang luar biasa. Saya nggak tahu, tapi kiasan ini makjleb banget buat saya. Siapapun tak bisa menghindar dari kesedihan, tapi Novi seperti bilang, “Nggak usahlah itu kesedihan terlalu diumbar-umbar ke sana kemari. Tutupilah dengan kegembiraan, maka “rongga” itu justru akan segera menutup.”

Semacam itulah.

O iya, yang saya baca ini adalah e-book, hasil menang lomba review beberapa waktu yang lalu. Dari 4 e-book saya baru menyelesaikan yang satu ini. Lambat banget ya saya bacanya. Ya eyalah, orang sambil diresapi gitu. Sukanya baca e-book, ke mana-mana berasa bawa buku terus, tanpa harus menenteng-nenteng buku cetak yang kadang tebel itu. Bisa saya bawa untuk dibaca sebelum tidur di kamar yang remang-remang. Ga enaknya, saya ga bisa kasih coretan di sana-sini seperti yang biasa saya lakukan.

Iya, saya suka nyoretin buku-buku yang saya baca. Terutama untuk menandai quote menarik, kosakata baru atau idiom-idiom yang baru pertama saya dengar atau baca. Kalo ga bisa saya tandai begini, saya ternyata juga cukup susah bikin catatan dan nge-reviewnya 😦 Hiks!

Overall, buku ini buku keren! Buku wajib baca terutama buat kamu-kamu yang lagi belajar nulis. Cara Novi mengolah kata, mempergunakan majas-majas, memilih diksi dan memainkan imajinasi, sangat bisa dicontoh. Ya, bener banget yang ditulis oleh Gunawan Mohamad dalam Pengantar di buku ini, “…Tapi saya rasa yang mendorongnya bukan kebutuhan akan fantasi, melainkan keakraban dengan fantasi itu — juga dengan melankoli: warna senja, malam, kematian dan perpisahan dominan dalam prosanya. Mungkin itu menyiratkan bahwa yang ajaib adalah sesuatu yang sementara, atau tak pernah dikenal, atau dilupakan, sebagaimana dongeng anak-anak dilupakan orang dewasa. Novi berusaha menangkap itu, dan seperti jurupotret yang penuh perasaan, mengabadikannya.”

Hanya pesan saya, buku ini bukan buku santai. Yah, setidaknya buat saya. Sehingga harus dibaca di waktu-waktu di mana otak saya lagi benar-benar terbuka untuk dicekoki fantasi. 😆

Empat dari lima bintang.

7 Comments Add yours

  1. irmasenja says:

    Penasaran sama bukunyah, pengen tau bagaiamana itu bahasa dewa 🙂

    Like

    1. @RedCarra says:

      Coba deh neng, baca. Recommended buat nambah imajinasi dan kosakata 🙂

      Like

  2. Miss Rochma says:

    memang butuh waktu khusus baca buku fantasi, mbak *toss*

    Like

    1. @RedCarra says:

      Kamu lagi baca apa skarang, Ri? 😀

      Like

  3. Sayang mereviewnya kurang cetar membahana kayak biasanya. Yang bukan e-book ada nggak mak? pengen baca banget nih

    Like

    1. @RedCarra says:

      Saya kayaknya emang ga pernah cetar membahana Mak kalo ngereview. Biasa aja. Bisa kasih contoh Mak, gimana ngereview yang cetar membahana itu? Yang tulisan Mak Ika barangkali? 🙂 Pen belajar…

      Like

  4. Ade Anita says:

    Idem mak cara.. aku juga suka menggaris bawahi kalimat yg cantik atau kosakata baru dari buku yg aku baca. Itu kelebihan buku cetak ketimbang buku ebook. Mana bisa dilipat lagi halaman yg paling aku sukai.
    Aku cari deh buku ini.

    Like

Komennya, Kakak ^^