Judul: After Rain – Suatu Saat Aku Berhenti Menangisimu
Penulis: Anggun Prameswari
Penyunting: Ayuning
Proofreader: Jia Effendie
Desain dan Ilustrasi Sampul: Levina Lesmana
Penata Letak: Landi A. Handwiko
Blurb
Mungkin aku dibutakan oleh cinta, sebab akalku dikacaukan olehmu. Seberapa banyak pun aku meminta, kau takkan memilihku.
Ini yang kausebut cinta?
Menunggumu bukan pilihan. Izinkan aku meninggalkanmu, dengan serpihan hati yang tersisa. Dan jika ternyata dia yang ada di sana, sama-sama menanggung keping-keping hati yang berhamburan, saat kami yang menyembuhkan —
Salahkah itu?
Alur Cerita
Serenade Senja. Perempuan twenty something. Cerita dibuka saat malam anniversary Seren dan Bara, kekasihnya. Dari scene ini kita lantas diberitahu, bahwa ternyata Seren ternyata perempuan selingkuhan.
What?? Selingkuhan?
Yes. Berarti tokoh sentralnya selingkuhan? Iya. Tapi bentar dulu. Statusnya yang selingkuhan ini ternyata ga semata-mata dia jadi WIL. Malah justru dialah yang dikhianati. Bukan dikhianati oleh Bara sih. Tapi dikhianati oleh keadaan. Bara dijodohkan dengan Anggi, perempuan pilihan orang tua, atas nama kelangsungan bisnis keluarga. Sepuluh tahun mereka bersama, dengan tiga tahun di antaranya menjadi perempuan selingkuhan. Why… everyone deserves a choice huh? It is a choice.
Hingga akhirnya Seren tak bisa lagi bertahan. Ultimatum akhirnya keluar dari mulutnya. Bara harus memilih, Anggi atau dirinya. Dan sebagaimana sudah ditebak, Bara lebih memilih Lily, anaknya. Tentu saja, ini berarti Bara lebih memilih Anggi. Fine. Seren pergi, meski tetep patah hati.
Seren berusaha move on dengan resign dari kantornya, di mana Bara juga bekerja. By coincidence, Nola, keponakan Kei sahabat Seren, memberitahu bahwa ada lowongan guru sementara menggantikan Miss Anggun, guru bahasa Inggris yang akan cuti melahirkan *ini juga coincidence kali ya? Nama guru bahasa Inggrisnya sama dengan nama penulis yang juga berprofesi sebagai guru bahasa Inggris? * Singkat cerita, Seren diterima untuk menggantikan Miss Anggun selama tiga bulan.
Cerita lantas berkutat di sekolah. Di sinilah Seren kemudian mengenal Elang, guru musik super cuek super cool. Di sinilah lantas muncul konflik-konflik baru, gimana perasaan Seren saat harus ngajar pertama kali, gimana ngatasin bandelnya murid-murid, gimana caranya ngatasin murid yang naksir dia, hingga bagaimana cara Seren untuk melepas bayang-bayang Bara meski dia sudah pindah kerja.
Review
Buku ini sebenernya udah terbit lama. Saya sudah lama melihatnya wira wiri di toko buku online, di twitter dan di tempat-tempat lain. Cuma buat beli, kok ya ragu-ragu. Novel sih. π Kan saya memang butuh rekomendasi yang kuat buat beli novel. Akhirnya saya mendapatkan buku ini sebagai hadiah dari Mbok Dewi π Makasih ya Mbok Dew…
So… here is my review.
Alur yang digunakan adalah alur maju. Simpel. Sederhana. Ga terlalu banyak lompatan. Semua berjalan mulus, dan smoooooth.
Yang menjadi magnet untuk saya adalah gaya bahasa penulis. Puitis, tapi nggak mendayu-dayu. Ga heran sih, cerpen-cerpen Mbak Anggun gayanya memang begini rata-rata. Dan dia berhasil membawa gayanya ke dalam novel, dengan tidak membuatnya membosankan. “Puitis tapi nggak kosong,” gitu kata Bu Boss saya saat kami berdiskusi tentang buku ini via WA π . Dan saya setuju. Saya pernah mencoba satu novel yang mencoba membawa diksi puitis, tapi beugh. Saya berhenti di halaman 50. Memang kalo ga berhati-hati, novel akan menjadi semacam kumpulan puisi π Maaf, saya nggak gitu bisa menikmati puisi. Apalagi yang dalam bentuk novel π
Dan kemudian saya baru tahu, bahwa yang begini ini yang disebut dengan roman depresi. Dan rasanya cocok banget disebut begitu π Ahhh, saya jadi punya pengetahuan baru lagi. π
Saya suka cara Mbak Anggun menamai tokoh-tokohnya, terutama tokoh utama Seren dan Elang. Serenade Senja, tentu saja karena dia lahir di senja hari. Elang Mahardhika, lelaki yang bebas terbang lewati pegunungan *tsah*. Tapi ternyata bebas tak selamanya membahagiakan, begitu kata Elang. Bebas tetap saja akhirnya ingin pulang. Dan masalahnya, pulang ke mana? Uhuy! Kode banget. π
Meski alur cerita dan endingnya gampang ditebak buat sebagian orang *termasuk saya*, tapi kebetulan saya bukanlah tipe pembaca yang suka menebak-nebak arah cerita. Saya suka go with the flow. Menikmati setiap prosesnya, setiap jalannya, setiap alurnya. Saya nggak suka sibuk sendiri menebak arah cerita. Saya lebih suka perjalanan sebuah cerita atau novel yang membawa saya hingga akhir. Oh, sepertinya sih nggak banyak tipe pembaca seperti saya π Hahahaa… So, saya bisa bilang, saya menikmati setiap step perjalanan yang ditempuh Seren dalam novel ini π
Quote
Ada beberapa yang cukup jleb. Sayang, saya masih saja malas menandai quotes-quotes itu. Lagi-lagi karena kesibukan menandai quotes itu semacam mengganggu nikmatnya saya berjalan bersama alur cerita. Jadi ini ada beberapa tapi tanpa ada halaman.
Kalau ada yang bilang bye, lebih baik kamu jawab see you. Kecuali kamu benar-benar nggak mau ketemu dia lagi.
Cinta itu energi. Lo nggak bisa menciptakan cinta di dalam hati lo, sama seperti lo menghancurkannya. By default, hati setiap orang itu berisi cinta.
Dia seperti Cinderella, selalu berlari pulang saat tengah malam, meninggalkan pangeran yang terlanjur jatuh cinta kepadanya. Entah kapan dia bisa tahu perasaan pangeran tersebut. Hancur. Remuk berkeping-keping. Siap terhambur ditiup angin.
Patah hati bukan vonis mati.
Dan sekarang… Kedai Bianglala menunggu giliran untuk dibaca π
Empat dari lima bintang
Roman depresi, pantesan bikin depresi. Kehadiran Elang dan Kean menjadi antidepresan.
Ditunggu review Kedai Bianglala-nya. π
LikeLike