Dari Salawat Dedaunan Sampai Kunang-Kunang di Langit Jakarta

10707164_744717212268614_158504887_nJudul: Dari Salawat Dedaunan Sampai Kunang-Kunang di Langit Jakarta
Penulis: Yanusa Nugroho, Agus Noor, Dewi Ria Utari, Gu TF Sakai dkk
Editor: Putu Fajar Arcana
Perancang Sampul: Zeventina Oktaviani
Tebal: xxvi + 214 halaman
ISBN: 978-979-709-651-9
Penerbit: Buku Kompas, Juni 2012

Blurb

Dalam sekali pukul pembacaan, kita akan menemukan sedikit ciri yang menandai sebagian besar cerpen (di buku ini). Pertama adalah pilihan bentuk dan gaya, atau cara penceritaan yang secara dominan dipenuhi oleh kecenderungan yang mistik, lalu mengarahkan cerita pada simpulan atau akhir yang supranatural dan surealistik. Tak kurang dari 50% (11 cerpen) yang memiliki kecenderungan semacam ini, mulai dari “Wiro Seledri” karya GM Sudarta, “Biografi Kunang-kunang” (Sunggung Raga), “Burung Api Siti” (Triyanto Triwikromo), hingga “Malam di Kota Merah” (Toni Lesmana), “Batas Tidur” (Gede Aryantha Soethama). Dua cerpen yang terpilih sebagai “terbaik” pun “Salawat Dedauan” (Yanusa Nugroho) dan “Kunang-kunang di Langit Jakarta” (Agus Noor) Memiliki sub-genre yang sama.

Dalam kumpulan ini, ketujuh cerpen terpilih tetap dalam tegangan itu, saat mereka menjumput kembali khazanah cerita lokal, hingga logika, mitologi, dan mistisisme lokalnya. Katakanlah karya-karya mulai dari “Orang-orang Larenjang” (Damhuri Muhammad), “Pakiah dari Pariangan” (Gus tf Sakai), “Mar Beranak di Limas Isa” (Guntur Alam), “Ikan Kaleng” (Eko Triono), dan lainnya.

Cerpen “Salawat Dedaunan” dibungkus dalam alur sederhana dan bahasa yang mudah diikuti, tetapi memancing imajinasi yang tinggi. Kemuraman religiositas masyarakat disikapi dengan cara-cara yang amat “nglakoni”. Berbuat adalah cara paling baik untuk mendorong sebuah perubahan sikap. Kendati perubahan sikap masyarakat kemudian terjadi karena alasan berbeda, dorongan untuk berubah itu dipicu oleh tindakan tak kenal menyerah. “Kurang-kurang di Langit Jakarta” mengunyah simbolisasi itu menjadi jiwa-jiwa yang melayang di setiap gedung, yang dulu menjadi situs pemerkosaan serta kemalangan yang terjadi saat kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Cerpen ini melukiskan realitas tragedi dengan cara-cara yang romantik, tetapi menggugah.

Review

Ada 22 cerpen dalam buku ini. Mereka adalah:

  1. Salawat Dedaunan – Yanusa Nugroho
  2. Kunang-kunang di Langit Jakarta – Agus Noor
  3. Ibu Pulang – Dewi Ria Utari
  4. Kak Ros – Gus TF Sakai
  5. Perempuan Tua dalam Kepala – Avianti Armand
  6. Kain Perca Ibu – Andrei Aksana
  7. Ketika Pohon itu Masih Mekar – Doni Jaya
  8. Laron – Mashdar Zainal
  9. Malam di Kota Merah – Toni Lesmana
  10. Mar Beranak di Limas Isa – Guntur Alam
  11. Tradisi Telur Merah – Sanie B Kuncoro
  12. Orang-orang Larenjang – Damhuri Muhammad
  13. Nenek – Lie Charlie
  14. Ikan Kaleng – Eko Triono
  15. Pring Re-Ke-Teg Gunung Gamping Ambrol – Seno Gumira Ajidarma
  16. Biografi Kunang-kunang – Sungging Raga
  17. Wiro Seledri – GM Sudarta
  18. “Pakiah” dari Pariangan – Gus TF Sakai
  19. Batas Tidur – Gde Aryantha Soethama
  20. Burung Api Siti – Triyanto Triwikromo
  21. Kimpul – Sori Siregar
  22. Tart di Bulan Hujan – Bakdi Soemanto

Saya sih nggak akan bahas semua cerpen. Apalah intensitas saya? πŸ˜† Tapi di antara 22 cerpen tersebut tentu ada yang menarik perhatian saya sebagai seorang pembaca cerpen menahun. Halah.

Yang pertama adalah Perempuan Tua dalam Kepala, milik Avianti Armand. Ngepasi banget, baca ini setelah ada yang nyebut-nyebut cerpen ini di twitter. Siapa? Entah. Lupa. Somehow, cerpen ini juga mengingatkan saya akan “Misalkan Ini Adalah Dongeng” oleh Clara Ng di buku “Dari Datuk ke Sakura Emas”. Bukan, bukannya Avianti Armand plagiat CLara Ng atau sebaliknya, karena saya juga ndak tahu dan ndak mau tahu siapa duluan yang nulis. Tapi premis kedua cerita ini sama sebenarnya. Cuma Clara Ng tokohnya anak autis, sedangkan Avianti Armand seseorang biasa yang mempunyai pribadi lain dalam dirinya. Tapi dua-duanya mempunyai pengalaman sangat pahit yang sama 😦 Sedihhhhh sumpah kalo baca cerita yang seperti ini. Hiks.

Yang kedua punya Seno Gumira Ajidarma, my hero. Halah. πŸ˜† Judul cerpennya udah bikin yang “errrr…”; Pring Reketeg Gunung Gamping Ambrol. Tau ga apa arti Pring Reketeg Gunung Gamping Ambrol itu? Ungkapan tersebut merupakan peribahasa Jawa, yang artinya kurang lebih menggambarkan tekad yang kuat, mampu mematahkan batang bambu yang lentur dan melongsorkan gunung kapur yang keras. Hati yang tetep, jejeg dan dilandasi rasa eling akan menghilangkan hambatan hidup dan mencegah kehancuran hidup. Yaaa, kurang lebih begitulah. Dan ceritanya memang nyambung sih ya sama peribahasa ini, meski sempat bikin saya mikir agak lama. Settingnya memang di sekitaran bukit kapur, tentang kembang desa yang diperkosa. Dan ternyata pemerkosanya adalaaaaahhh… Hmmm, saya jadi inget flashfiction 100 kata saya yang ini πŸ˜† Mirip. Padahal saya baru ini baca cerpennya SGA yang satu ini. Heuheuheu :mrgreen:

Cerpen berikutnya yang menarik perhatian saya adalah Tart di Bulan Hujan, tulisan Bakdi Soemanto. Meski saya agak-agak merasa ditipu dengan penggunaan istilah “bulan hujan” dan bagaimana penulis menyebutkan “si bocah” πŸ˜† Tapi cerpen ini simpel banget, dan karena kesederhanaan dan ending yang juga simpel itu malah bikin cerpen ini istimewa buat saya. Mungkin juga karena membawa agama yang saya anut sih πŸ˜€

Beberapa cerpen lain memaksa untuk saya baca berulang baru saya ngerti maksudnya apa, kayak “Pakiah” dari Pariangan yang terlalu kental aroma Padangnya. Saya jadi nggak ngerti sama sekali itu cerita tentang apa 😦 Atau juga seperti Burung Api Siti milik Triyanto Triwikromo. Dua kali baca baru saya ngerti. Meski nggak yakin juga sih hahahaha πŸ˜† Yang lokalitasnya pekat, saya mem-favoritkan Mar Beranak di Limas Isa punya Guntur Alam πŸ™‚

Dalam pengantar dikatakan Salawat Dedaunan dan Kunang-Kunang di Langit Jakarta menjadi pemenang kembar dalam buku kumpulan cerpen ini.

Disebutkan bahwa, juri melihat Salawat Dedaunan dibungkus dalam alur sederhana dan bahasa yang mudah diikuti, tetapi memancing imajinasi yang tinggi. Kemuraman religiusitas masyarakat disikapi dengan cara-cara yang amat nglakoni. Sedangkan Kunang-Kunang di Langit Jakarta, mengunyah simbolisasi itu menjadi jiwa-jiwa yang melayang di setiap gedung, yang dulu menjadi situs pemerkosaan serta kemalangan yang terjadi saat kerusuhan Mei 1998 di Jakarta.

Rating

Saya memberi 4 dari 5 bintang untuk buku kumpulan cerpen ini. Very recommended!

One Comment Add yours

Komennya, Kakak ^^

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s