Judul: Laki-laki Pemanggul Goni
Penulis: Budi Darma, Seno Gumira Ajidarma, Mashdar Zainal, Agus Noor dkk.
Perancang Ilustrasi: Amrizal Salayan
Perancang Sampul: Wiko Haripahargio
Tebal: xvi + 268 halaman
ISBN: 978-979-709-724-0
Penerbit: Buku Kompas
Blurb
Antologi Cerpen Pilihan Kompas 2012 tidak lain adalah ‘potret’ tentang keindonesiaan kita; sebuah Indonesia yang heterogen, unik, sekaligus juga problematik. ‘Potret’ ini adalah sekrup kecil dari sebuah mesin raksasa bernama Indonesia. Serpihan-serpihan yang tercecer dari problem bangsa ini yang (mungkin) sudah begitu akut, kompleks, dan multidimensional. Sejumlah 20 cerpen dalam antologi ini separuhnya mempertontonkan akar budaya yang diperlakukan secara beragam.
Cerpen yang terpilih sebagai cerpen terbaik, “Laki-laki Pemanggul Goni” (Budi Darma) dikisahkan begitu dingin, tetapi toh kita tetap merasakan hadirnya atmosfer suasana cerita yang menegangkan dengan segala teka-tekinya. Keberhasilan cerpen ini bukan terletak pada kepiawaian pengarang menyembunyikan identitas tokoh-tokohnya. Dalam cerpen ini, diperlihatkan betapa penting semua unsur intrinsik tampil kompak, berjalin berkelindan membangun cerita. Di antara ke-20 cerpen kali ini, “Laki-laki Pemanggul Goni” tampil sebagai cerpen yang kaya tafsir dan kaya makna.
Cerpen Pilihan Kompas pada akhirnya boleh dianggap sebagai juru bicara cerpen Indonesia kontemporer -sekaligus menampilkan dirinya sebagai ‘potret’ Indonesia.
Review
Ada 20 cerpen dalam buku ini, yaitu:
- Laki-laki Pemanggul Goni – Budi Darma
- Mayat yang Mengambang di Danau – Seno Gumira Ajidarma
- Pohon Hayat – Mashdar Zainal
- Requiem Kunang-Kunang – Agus Noor
- Batu-Asah dari Benua Australia – Martin Aleida
- Pemanggil Bidadari – Noviana Kusumawardhani
- Ambe Masih Sakit – Emil Amir
- Renjana – Dwicipta
- Lengtu Lengmua – Triyanto Triwikromo
- Wajah itu Membayang di Piring Bubur – Indra Tranggono
- Nyai Sobir – A Mustofa Basri
- Bu Geni di Bulan Desember – Arswendo Atmowiloto
- Jack dan Bidadari – Linda Christanty
- Perempuan Balian – Sandi Firly
- Dua Wajah Ibu – Guntur Alam
- Sepasang Sosok yang Menunggu – Norman Erikson Pasaribu
- Mayat di Simpang Jalan – Koman Adnyana
- Sang Petruk – GM Sudarta
- Kurma Kiai Karnawi – Agus Noor
- Angin Kita – Dewi Ria Utari
Well, biasanya saya akan memilih tiga cerpen untuk saya review. Review saya bukanlah review atau analisa seorang ahli atau gimana, tapi hanya dari kacamata seorang pembaca. Tapi, hmmmmm, saya malah jadi bingung sekarang saya mau review cerpen yang mana aja. 😆 Karena semuanya menarik. Biasanya saya memang memilih tiga yang menurut saya ‘paling’. Tapi di sini, ‘paling’ semua. Jadi gimana dong? Bingung? Sama dong. Hahahaha…
Anyway, seperti biasa cerpen-cerpen Kompas selalu mempunyai suasana yang suram. Begitu pun dalam sebagian besar cerpen yang terangkum dalam buku ini. Beberapa yang ‘agak cerah’ adalah Batu-Asah dari Benua Australia, Bu Geni di Bulan Desember’ dan Kurma Kiai Karnawi.
Cerita-cerita didominasi oleh cerita yang mengangkat kelokalan, seperti Mayat yang Mengambang di Danau, yang mengambil setting di Papua, mengangkat konflik gerakan Papua Merdeka (atau apa ya istilahnya, kok saya lupa), lalu ada Ambe Masih Sakit, yang mengangkat budaya Toraja di mana seseorang tak bisa dimakamkan jika tidak mempunyai syarat-syarat upacara adat yang menghabiskan banyak uang itu. Juga ada Dua Wajah Ibu, yang meski mengambil setting di Jakarta, tapi aura Padangnya begitu kental. Juga Mayat di Simpang Jalan, yang mengangkat budaya Bali.
Beberapa cerita mengangkat sejarah kelam negeri ini, misalnya seperti Batu-Asah dari Australia, mengenai seorang tahanan politik yang baru saja dibebaskan yang lantas harus mencari cara agar bisa bertahan hidup di tengah masyarakat. Baca juga tentang Sang Petruk, yang mem-flashback ontran-ontran tahun 1965.
Sedangkan cerita yang lain, seperti sudah menjadi kekhasannya, merupakan cerita surealis. Seperti Pohon Hayat, Requiem Kunang-Kunang, Pemanggil Bidadari, Sepasang Sosok yang Menunggu dan juga Laki-laki Pemanggul Goni.
Berbeda dengan buku kumpulan cerpen yang sudah pernah saya baca, buku ini agak lama bisa saya selesaikan. Sekitar tiga minggu. Bukan karena cerita yang terlalu bagaimana, tapi karena memang saya menikmati setiap cerita pendek yang ada di dalamnya. Saya membacanya pelan-pelan, bahkan saya bisa menghasilkan dua sketsa ilustrasi based on cerita pendek yang ada dalam buku ini, yang amazingnya, dua-duanya dikomentari oleh penulisnya. UHUY!!!
Ilustrasi berdasarkan cerpen ‘Requiem Kunang-Kunang’ karya Agus Noor
Ilustrasi berdasarkan cerpen ‘Pemanggil Bidadari’ karya Noviana Kusumawardhani
Kalau mau liat komen penulisnya, sila langsung ke instagram saya aja lah ya 😆 Kok jadi modus?
Jadi ya begitulah. Buku ini menjadi salah satu favorit saya.
Saya kasih 4.5/5 bintang 😉
One Comment Add yours