“Serupa waktu, isi hati manusia termasuk hal yang paling sulit diterka.”
Judul: Bingkai Memori
Penulis: Petronella Putri
Editor: Anin Patrajuangga
Desainer Cover: Sapta P. Soemowidjoko
Penata isi: Yusuf Pramono
ISBN: 978-602-251-721-4
Penerbit: Grasindo
Blurb
Mei tidak penah menyangka bahwa seluruh kehidupan berubah setelah sang ayah pergi untuk selamanya. Dari catatan-catatan ditemukan di laci meja kerja, kenangan masa lalu, dan sebuah foto serta gambaran mengenai kalung bandul yang terus memenuhi pikirannya–gadis itu memulai perjalanan baru menuju kota masa kecil ayahnya.
Hal-hal baru pun terkuak, yang membuat semua kebahagiaan dan tawa terasa begitu palsu. Banyak cerita yang ternyata tidak ia ketahui.
Tentang seorang perempuan di masa lalu.
Tentang cerita cinta yang tak pernah padam.
Dan sebuah rahasia, yang berusaha disimpan rapat-rapat.
Alur Cerita
Hati Mei, seorang gadis keturunan Tionghoa, hancur seiring sang ayah meninggal dunia. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Mei sepakat untuk mengajak ibu dan adiknya untuk hidup bersama di Jakarta dengan membeli rumah baru. Saat packing pindahan inilah Mei menemukan sebuah jurnal yang ternyata milik ayahnya. Di dalam jurnal itu terselip berbagai macam bukti kenangan, termasuk di antaranya sebuah amplop berisi surat tua dan sehelai foto. Foto menunjukkan seorang perempuan muda *yang tentu saja berpenampilan jadul* mengenakan kalung berliontion giok. Sedangkan suratnya ditulis oleh seorang perempuan bernama Lie. Nama Lie ini berulang kali disebut dalam jurnal ayahnya, hingga membangkitkan rasa penasaran Mei.
Sementara itu, Prima, pacar Mei, semakin tenggelam dalam dunia kerjanya. Begitu workaholicnya sehingga ia tak pernah ada saat Mei membutuhkannya. Ini membuat Mei sedih, dan memutuskan untuk ‘istirahat’ sejenak dari urusan percintaan.
Karena begitu jenuh dengan kehidupan cinta dan juga kariernya, Mei akhirnya memutuskan untuk mengambil cuti untuk liburan. Ke mana? Ke Padang, sekalian untuk memuaskan rasa penasaran terhadap surat-surat dan jurnal sang Ayah. Ia ingin menelusuri jejak-jejak kenangan di kota kelahiran ayahnya.
Maka jadilah ia pergi ke Padang, tanpa sepengetahuan ibunya dan juga Prima. Mei merahasiakan kepergiannya dari ibunya, sekadar untuk menjaga perasaannya. Sedangkan Prima, ia ingin menjauh sejenak dan juga untuk merenung apakah ia akan melanjutkan hubungannya dengan Prima.
Di Padang, dia menelusuri semua jejak kenangan seperti yang diceritakan di jurnal. Ia mendatangi alamat rumah seperti yang tertera di surat. Tapi ya namanya udah lama banget, penghuninya sudah berganti.
So, akankah Mei menemukan apa yang dicari?
Review
Ok. So here is my review.
Sejak awal, saya sukak banget dengan kerapian alurnya. Alur yang digunakan adalah alur maju yang kadang diseling dengan flashback karena memang judulnya aja menelusuri kenangan. Suasana gloomy tapi lembut mendominasi sejak prolog.
Konflik yang ditawarkan juga sebenernya nggak terlalu baru. Anak menemukan buku harian orangtuanya, lalu menelusuri kenangan untuk mencari seseorang dari masa lalu orangtuanya. Hingga akhirnya dia menemukan orang tersebut, dan ternyata orang tersebut juga mempunyai anak sedarah dengannya. Eh spoiler 😆 Well, sebenernya saya bukan tipe pembaca yang suka menebak ending. Kalau saya penasaran, saya akan membalik novel yang lagi saya baca, dan saya akan baca endingnya. Hehehehe, tapi Bingkai Memori ini sepertinya tidak membiarkan saya untuk mengintip langsung ke halaman terakhir. Bingkai Memori mengikat saya di lembar-lembar bukunya dengan detail-detail cantik dan alur yang lembut. Lalu membiarkan saya menerka ending, yang ternyata bener. Hehehehe…
Detailnya juga luar biasa. Mbem, sang penulis, bahkan menjelaskan tentang surat yang menggunakan ejaan yang disempurnakan dan bukan dengan ejaan lama. Setiap keterangan tempat juga disertai dengan catatan kaki, hingga memudahkan pembaca membayangkan tempat kejadian.
Anyway, novel ini bersetting di Padang. Kalau kamu belum pernah ke Padang, kamu bahkan bisa membayangkan kota Padang se-riil-riil-nya hanya dengan membaca novel ini. Ini juga yang membuat saya suka. Kota Padang nggak cuma berperan sebagai setting, ia bahkan menjadi ‘pemeran’ utama dalam novel ini. Kota Padang nggak cuma nempel, kamu bahkan bisa membayangkan jalan-jalan yang dilalui oleh Mei saat menelusuri kenangan ayahnya. Kita sudah banyak yang bosan dengan setting kota Jakarta, Bandung, Jogja dan Surabaya. Maka hadirnya kota Padang ini semacam memberi sesuatu yang istimewa banget dalam novel ini.
Karakter tokoh-tokoh juga cukup kuat. Mei, si gadis Tionghoa, yang berubah menjadi begitu sendu begitu kehilangan ayahnya. Prima, kekasih Mei, yang workaholic abis tapi sayang banget sama Mei. Lalu ada Malvin, Emilia, dua orang yang sangat penting selama pengembaraan Mei di Padang, Wendy, Siauw Fang (atau Siauw Lang, lupa 😆 ), Ega, dan bahkan tokoh-tokoh nggak terlalu penting semacam Virnie dan Arista pun, bisa digambarkan dengan detail karakternya.
Typo, ada tapi ngga kerasa hehehe. Ohya, saya jujur rada-rada terganggu dengan kata “ber-ohh ria” yang ada di beberapa bagian hehe. Biasanya ini dilakukan oleh Mei, saat ia baru saja menerima informasi dari lawan bicaranya. Di halaman 145 ada kata-kata yang kena strikethrough. Itu bener ya dicoret begitu? Kalau iya, kenapa? Semacam aneh. Bolong cerita, sepertinya nggak ada. Great job 😀
Quotes
Saya rada-rada surprise. Mendapati Petronella Putri, aka Mbem, yang kayak-kayak adik semua #KruBFG ternyata bisa menuliskan kalimat-kalimat wise sarat makna seperti berikut:
Kenanganlah yang mampu menumbuhkan semangat manusia, atau barangkali mengubahnya menjadi seorang penyendiri dan pembunuh berdarah dingin. (hal. 54)
Berjalanlah sejauh mungkin. Tapi tetap ingat bahwa setiap perjalanan selalu butuh rumah untuk pulang. (hal 60)
Pilihlan apa pun dan siapa pun yang menyayangi dan mampu membahagiakanmu. Be happy, jangan biarkan hidupmu bergantung pada keinginan orang lain. (hal. 64)
Tapi bukankah hidup harus selalu berganti rupa? Berganti rasa. Karena kehidupan yang sebenarnya baru saja dimulai ketika kita berani melepaskan segala kenyamanan yang ada, dan mencoba sesuatu yang baru. (hal. 89)
Ternyata waktu dan umur lebih licik daripada yang bisa disangka manusia. (hal. 122)
Umur bisa terus bertambah, hidup bisa terus berjalan bahkan jatuh bangun, tapi kenangan tak pernah bisa berdusta. Kebahagiaan yang sudah dilukiskan masa lalu akan selalu menjadi bahagia hingga kapan pun. Begitu juga sebaliknya. (hal. 142)
Perpisahan. Bayangan yang paling menyakitkan dalam kenangan anak manusia. (hal 151)
Sebuah janji wajib ditepati, sesulit apa pun perjuangannya. Tetapi seseorang yang tidak pernah menjanjikan apa-apa, tidak perlu menepati apa-apa. (hal. 177)
Rating
Tiga setengah bintang untuk ceritanya, setengah bintang ekstra untuk detail dan alur lembutnya 😀