Fifty Shades of Grey – Legalisasi Kekerasan pada Perempuan?

Fifty Shades of Grey 01

Agak sulit sebenarnya bagi saya untuk menuliskan review novel ini dengan standar dan format yang sama dengan review buku biasanya.

So, I guess saya akan menulis bebas aja deh. Karena sepertinya bakal kecampur aduk juga sama filmnya.

First of all.
Teman-teman dekat saya atau mereka yang dekat dengan saya pasti tahu bahwa I don’t do romance. I fuck. Hard. Saya hampir nggak pernah baca cerita romance, kecuali terbitan Stiletto Book (yang mana penyebabnya sudah jelas. Yes, kewajiban. Wkwkwk.)

Tapi, ada orang yang bilang, bahwa sesekali kita mesti baca buku yang “sedikit di luar area”, supaya kotak hitam di kepala kita juga isinya banyak.

Enough. Saya mau bahas Christian Grey, bukan kotak hitam.

26364417_553504161677095_388949588330938368_n

Pertama saya memang membaca Fifty Shades of Grey, dengan PoV Anastasia Steele ini. Saat saya post di Instagram, ternyata kemudian saya bisa mendapatkan kopi ebook Fifty Shades of Grey as Told by Christian, along with Fifty Shades Darker dan Fifty Shades Freed.

Beruntungnya saya 😀 Saya sudah berencana beli kopi asli dari Amazon, tapi kayaknya masih bisa menunggu sampai saya dapat rezeki lagi. Karena harga seri novelnya ini jadi Rp500.000 termasuk ongkos kirimnya. Wkwkwkwk.

 

IMG20180120081400

So, what is it about elevators Christian?

Entah kenapa saya malah lebih suka versi yang dari PoV Christian ketimbang Ana. Mungkin karena saya juga perempuan? Sehingga tahu banget apa yang ada di pikiran Ana. Tapi beda dengan Christian.

Dua buku tersebut–buku fisik dan ebook–saya selesaikan dalam waktu 7  hari saja. 😆 Quite a record, huh? Yah, buat saya rekor banget. Udah tebel, in english pun. Wkwkwk.

Well, Christian digambarkan sebagai seorang pria usia 27 tahun, yang gantengnya nggak ketulungan dengan kekayaan yang luar biasa. Ia punya perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi, dan juga beberapa perusahaan lainnya. Latar belakang kehidupannya memang tak pernah diketahui orang, sampai kemudian Anastasia Steele mewawancarainya.

Sungguh scene yang awkward, but hey … semua juga gitu kan ya? Tubrukan di selasar, buku/kertas jatuh ke mana-mana, lalu jatuh cinta.

Klise eh? Iya, klise. Sama saja dengan awal pertemuan Christian dan Anastasia. Ana–yang seorang nerd dan nggak pedean–mesti mewawancarai Christian, dan untuk lebih membuatnya malu, EL James pun bikin scene Ana kesandung dan jatuh di kantor Christian.

Pun soal Christian yang punya fisik sempurna banget dan tajir. (Kalau yang nulis mbaknya Seven Eleven itu ya pasti saya nyinyirin. Dasar hedon!) 😆

 

56b115123d9784300da896cfd4d327c4-shades-of-grey-fifty-shades

 

Sejak awal ketemu itu, Christian–yang punya gaya hidup seksual yang “unik” ini–sudah menginginkan Anastasia untuk mau menjadi objek seksual. Namun, berbeda dengan kisah BSDM lainnya, Christian mengajukan semacam kontrak perjanjian tertulis, yang harus mereka negokan bersama. Mana yang soft limits dan mana yang hard limits. Apa yang menjadi “kewajiban” Submissive, pun apa yang wajib dipenuhi oleh Dominant.

Saya yang awal pertama nonton filmnya bakalan membayangkan banyak scene berdarah-darah seperti halnya kisah BSDM yang pernah ada, jadi rada sedikit kecele. Aktivitas yang melibatkan darah ternyata masuk ke dalam list hard limits buat Christian. Oh yeah, that’s new.

Ini menarik. Karena dengan sebuah kontrak yang seperti itu, berarti submissive “tidak akan merasa” dipaksa. Karena mereka boleh mengajukan keberatan akan hal-hal dan cara-cara tertentu, pun boleh mengusulkan hal lain yang menurut mereka lebih nyaman. They will be willing to do what Dominants want, with no hesitation.

Jadi, jika terjadi apa-apa, nggak mungkin akan diperkarakan sebagai KDRT.

Hmmm. Sebuah legalisasi kekerasan pada perempuan? Bisa jadi. Saya (sebagai seorang feminis lembek) memandangnya seperti itu.

Untungnya, Ana ini anaknya cukup cerdas. Dengan GPA-nya yang mencapai 4, Ana selalu mempertanyakan segala hal yang berhubungan dengan this kind of kinky fuckery relationship.

What comes to surprise, Ana ini masih perawan. Dan seperti halnya anak cerdas lainnya, Ana is intrigued untuk mengenal “dunia baru” yang diperkenalkan oleh Christian.

Saya jadi ingat akan curiousity yang dipunya oleh umumnya remaja. Apalagi ini diperkenalkan pada sesuatu yang … yah, you know-lah. Sexuality adalah hal yang sangat bikin anak-anak usia ini penasaran. Saya dulu pun gitu juga. Jujur nih.

Ana, yang nggak tahu apa-apa, tiba-tiba disodorin pengalaman luar biasa. Dan, secara naluriah, ia memberikan respon yang cukup alami. Penasaran, pengin nyobain, tapi sekaligus takut luar biasa.

 

92124a76fe3507ee01f91b431d81a9ce

Ana excited dengan pengalaman barunya. Ia sebenarnya juga kaget sendiri dengan respons dari dirinya sendiri, saat sedang “digituin” sama Christian.
(((digituin)))
Nggak pernah disangkanya, bahwa tubuhnya akan merasakan sensasi seperti itu. Gairah yang seperti itu.

Somehow, saya teringat sesuatu. Pernah ada akun Twitter bule yang kultwit, mengenai kondisi tubuh para korban pemerkosaan. Ada pernyataan, bahwa para korban pemerkosaan itu sebenarnya juga “menikmati” pemerkosaan yang terjadi pada dirinya. Hal ini dibuktikan dengan kondisi tubuh yang semacam “menerima” perlakuan tersebut. Misalnya saja, kondisi vaginanya juga terlubrikasi–seperti halnya perempuan lain yang sedang melakukan aktivitas seks pada umumnya tanpa paksaan–bahkan ada korban pemerkosaan yang juga mencapai orgasme.

Lebih jauh saya baca. Actually, it’s not a sign that si korban pemerkosaan MENIKMATI pemaksaan aktivitas seksual tersebut. TETAPI ITULAH REAKSI ALAMIAH YANG TERJADI PADA TUBUH PEREMPUAN, jika ia distimulasi.

Sehingga, bisa disimpulkan, bahwa perbedaan antara “dipaksa” dan tidak itu, ada di hati si perempuan. Bukan pada fisiknya.

Kembali lagi ke Ana. Meski ia selalu protes di sana sini, nyatanya ia–selain memberikan respons alami–menikmati aktivitas tersebut. Yes, a pleasure or a pain, itu tergantung yang ada di kepala dan hati kita.

Yang menarik lagi dari Fifty Shades of Grey as Told by Christian ini adalah mimpi-mimpi Christian. Ya, sejujurnya, sepertinya hal ini yang paling menarik saya sih. Bahwa karakter seseorang itu memang terbentuk oleh masa lalunya.

Christian mengakui at some point, bahwa masa kecilnya memang begitu kelam. Ibunya seorang pelacur dan pecandu narkoba, tapi saya sampai sekarang (sudah menyelesaikan 2 seri buku, dan nonton 2 seri filmnya) masih belum menemukan puzzle yang hilang mengenai sosok pria yang sering nongol di mimpi buruknya.

Yang bikin gagal paham juga, adalah ternyata Elliot juga menjadi mimpi buruk masa kecilnya. Ck. Saya yang tadinya merasa cerita ini jadi agak tercerahkan karena hadirnya Elliot jadi merasa kelam lagi dah. 😆

Semoga saya bisa menemukan jawabannya di Darker ataupun Freed. Juga tentang bekas-bekas luka di tubuh Christian, yang membuatnya menjadi enggan (dan takut–cenderung fobi) disentuh.

Saya akui, mungkin hampir 80% scene dalam cerita ini terisi penuh oleh adegan seksual dan sensual. 10%-nya adalah Christian pamer ketajirannya, sedangkan sisanya adalah memperlihatkan bagaimana kehidupan Christian dan Ana sehari-hari dan permasalahan mereka dengan orang-orang di sekitarnya.

But, to be honest, mengikuti kisah Christian dan Ana ini benar-benar bikin penasaran. So page-turning! Semacam, “Wah, bakalan pakai cara apa lagi nih ngewenya?” 😆 Hahaha, pardon my terms. Saya nggak bisa menemukan istilah lain yang bisa menggambarkan dengan gamblang perasaan saya saat membaca buku ini.

Hingga akhirnya, nyesek!

Sungguh saya nyesek di ending.
But, so worth it! Worth untuk segera dilanjutkan ke Darker, maksudnya. 😆

Semalam saya menyelesaikan novel ini, dan pagi ini–saat menulis review ini–saya masih nyesek gila. Nggak yakin juga sih, apa saya bisa langsung capcus ke Darker (toh saya juga sudah nonton filmnya). Apa mendingan langsung ke Freed dulu?

Entahlah. Belum saya putuskan.

It’s really worth to read. Berbagai perasaan campur aduk saat membacanya. Saya bisa merasakan luka Christian akan masa lalu, luka Ana karena Christian begitu berbeda, sedangkan ia begitu flowers-and-hearts kind of lover. Sungguh pertarungan kasatmata dengan diri sendiri yang luar biasa.

So, saya lagi-lagi nggak menyarankan baca kalau kamu termasuk di antara mereka yang sering merasa risih akan moralitas. It’s not a book for you.

Tapi, buat kamu yang memang pengin pengalaman yang berbeda, beberapa level lebih tinggi ketimbang buku Enny Arrow ataupun Irving Wallace, saya sarankan baca deh. Banyak pengetahuan dan “wawasan” yang bisa kamu dapat. If you know what I mean.

Apalagi kalau kamu bacanya sambil dengerin playlist ini. Meski kecewa Haunted nggak ada di situ, padahal jadi salah satu favorit banget.

Yah, mungkin saya harus rehat sejenak sih sebelum lanjut. Gotta get the novel plot outta my mind first for sure. Sudah beberapa hari ter-attach ke otak, rasanya saya perlu distraksi dikit. 😆

In the meantime …

fiftyshades

One Comment Add yours

Komennya, Kakak ^^

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s