Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta?

19623595_1497985966931621_1174603006323195904_nJudul: “Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta?” – Cerpen Pilihan Kompas 2015
Penulis: Agus Noor, Ahmad Tohari, AK Basuki, Anggun Prameswari, Budi Darma, Dewi Ria Utari, dkk
Perancang Sampul: A.N. Rahmawanta
Ilustrasi Sampul: Butet Kertaredjasa
Tebal: xviii + 222 halaman
ISBN: 978-602-412-068-9
Penerbit: Penerbit Buku Kompas

Blurb

Ini antara lain membuktikan regenerasi dalam dunia kepenulisan tanah air terus berlangsung. Nama-nama besar seperti Budi Darma, Ahmad Tohari, Putu Wijaya, dan Martin Aleida terus menulis dan menghasilkan karya-karya yang tetap bernas. Lalu ada nama besar lainnya: Seno Gumira Ajidarma, Jujur Prananto, Gde Aryantha Soethama, Indra Tranggono, disusul nama-nama yang lebih muda seperti Agus Noor, Triyanto Triwikromo, Gus tf Sakai, Warih Wisatsana, Djenar Maesa Ayu, Oka Rusmini, dan Joko Pinurbo. Mereka generasi kedua dan ketiga yang menulis dengan penuh kegairahan. Generasi keempat muncul penulis-penulis muda penuh bakat seperti Faisal Oddang, Anggun Prameswari, Ni Komang Ariani, dan Miranda Seftiana. Mereka menulis dengan penuh daya jelajah, seperti siap melampaui batas imajinasi yang mampu kita bayangkan. Buku ini ibarat membentang lanskap dunia kepenulisan di tanah air, dari waktu ke waktu. Tidak mustahil bahkan menjadi catatan sejarah kesusastraan di negeri ini.

Standar karya dalam buku Cerpen Pilihan Kompas selalu di atas rata-rata karena disaring dari cerpen-cerpen yang dimuat Kompas Minggu. Ini merupakan bentuk kepedulian Kompas dalam memajukan dan mengembangkan kesusastraan Indonesia. Kompas adalah tolok ukur di bidang sastra. Buku ini menjadi salah satu buktinya. (Yanusa Nugroho, cerpenis)

“Anak ini Mau Mengencingi Jakarta?” karya Ahmad Tohari menjadi metafor yang sangat kuat dan produktif untuk menggambarkan warga masyarakat miskin yang tersisih dan tidak mendapatkan kesempatan di ibu kota. Di situ bercampur-campur antara harapan dan kenyataan di dalam satu helaan napas. “Mengencingi” di dalam cerpen ini tumbuh menjadi pelambang dari kemarahan terselubung dari kalangan wong cilik yang sadar akan posisinya, sadar akan kemampuan yang sangat terbatas dibanding pihak-pihak yang menjadi alamat kemarahannya. (Efix Mulyadi, juri)

Review

Yah, memang telat kalau lagi baca yah. Lha tapi yang kumcer Kompas tahun 90-an saja masih banyak yang saya timbun, belum dibaca kok. Wakakak.

Ada 23 cerpen dalam buku ini:

  1. “Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta?” – Ahmad Tohari
  2. Tajen Terakhir – Gde Aryantha Soethama
  3. Orang-Orang dari Selatan Harus Mati Malam Itu – Faisal Oddang
  4. Hakim Sarmin – Agus Noor
  5. Basa-Basi – Jujur Prananto
  6. Upacara Hoe – Guntur Alam
  7. Penguburan Kembali Sitaresmi – Triyanto Triwikromo
  8. Dua Penyanyi – Budi Darma
  9. Lidah Ketut Rapti – Ni Komang Ariani
  10. Liang Liu – Dewi Ria Utari
  11. Batu Lumut Kapas – Gus TF Sakai
  12. Sebatang Lengkeng yang Bercerita – Miranda Seftiana
  13. Surat Nurlan Daulay Kepada Junjungan Jiwanya – Martin Aleida
  14. Sebotol Hujan untuk Sapardi – Joko Pinurbo
  15. Jemari Kiri – Djenar Maesa Ayu
  16. Leteh – Oka Rusmini
  17. Kebohongan Itu Manis, Vardhazh – Indra Tranggono
  18. Savonette – Warih Wisatsana
  19. Linuwih Aroma Jarik Baru – Anggun Prameswari
  20. Sepasang Kekasih di Bawah Reruntuhan – AK Basuki
  21. Tepi Shire – Tawakal M Iqbal
  22. Jenggo – Putu Wijaya
  23. Nomor – Seno Gumira Ajidarmma

Nggak mau bahas semuanya. Soalnya banyak, males. 😆

Di antara 23 ada 5 cerpen yang jadi favorit saya.

1.Basa-Basi

Di Goodreads, saya lihat banyak yang juga memfavoritkan cerpen ini. Hahaha. Sama ya, ternyata.

Si tokoh, Jumardi, adalah seorang karyawan yang sebal banget kalau disuruh berbasa-basi. Apalagi kalau sama atasan. Duh, semacam carmuk gitu deh. Tapi sialnya, ke mana-mana Jumardi nggak bisa menghindari yang namanya basa-basi ini.

Ya memang sih. Di masyarakat kita memang budayanya gitu sih ya. Orang kayak saya gini jadi kagok dah. Huahahaha.

IMG_20170701_130638_994

Beneran saya nyembur pas bagian di atas. Persis banget dengan yang saya alami. 😆 Paling bingung kalau berada di grup yang penuh basa-basi. Rasanya awkward aja gitu. Mau ikut basa-basi kok rasanya wagu. Nggak ikut, ntar dibilang sombong. Akhirnya keluar aja 😆

2. Lidah Ni Ketut Rapti

Nah, ini saya kira tadinya surreal. Tapi ternyata bukan.

Ni Ketut Rapti ini adalah seorang seniman spesialis lidah. Jadi, karyanya itu selalu ada lidahnya, kantornya dihiasi dengan elemen-elemen berbentuk lidah; lidah yang menjulur, lidah yang menjilat, lidah yang sedang mengunyah, dan lidah yang sedang diam di dalam mulut yang tertutup rapat.

Dan ternyata, masalah lidah inilah yang juga membuat Ni Ketut Rapti mendekati “aku”. Untuk …. tetot! Spoiler! Hehehe.

Ada hubungannya gitu sama bagaimana logat Bali mengucapkan “T” yang khas itu.

3. Jemari Kiri

Cerita ini adalah cerita simbolisasi, tentang perkawinan Nayla yang tak bahagia. Mirisnya, semua karena Nayla adalah korban sexual abusing, dan justru disalahkan oleh suaminya.

Beberapa waktu setelah cincin itu melingkar di jari manis tangan kanannya, sulit bagi Nayla untuk menggerakkan jari-jemari di tangan kirinya. Tiba-tiba seluruh jemari tangan kirinya layu. (hal. 133)

4. Linuwih Aroma Jarik Baru

Cerpen Miss Anggun ini kayaknya saya sudah baca langsung di Koming deh. Saya suka karena ada filosofi batik disematkan dalam cerita. Pun lokalitasnya kental banget.

Saya selalu suka “kerumitan” Anggun di setiap cerpennya sih. Terutama yang di media.

5. Dua Penyanyi

Yang ini unik sih. Hahaha.

Tentang dua keluarga. Namanya mirip-mirip, nggak saling kenal. Nikah keduanya pada hari, tanggal dan jam yang sama. Si ibu juga sama-sama hamil, lalu melahirkan juga barengan. Ndilalah, bapak keduanya meninggal. Lalu para ibu menyusul.

Anak-anak yang sudah ditinggal itu akhirnya harus tumbuh sendiri, yang mana salah satunya buta yang lainnya enggak.

Terus mmm … wah, ini kalau kayak gini berarti saya nulis ulang cerpennya nih. Huahaha 😆

Baca sendiri deh!

Yang saya suka, cerita ini bisa dibilang paralel, terus mengerucut. Unik deh.

 

Tajen Terakhir sebenarnya seperti karya Gde Aryantha lainnya begitu kental dengan lokalitas Bali. Membuat saya hanyut, seperti yang sudah-sudah. Sayang, endingnya ternyata cukup biasa. I mean, dibandingkan dengan cerpen yang ada di buku kumcer Kompas lainnya, ending cerpen ini nggak sampai bikin saya orgasme kalau dibandingin sama Menunda-nunda Mati di buku Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon, misalnya.

Yah, overall, buku ini masih didominasi oleh cerpen-cerpen bertema lokalitas, politik, sosial dan mistis.

Rating

4 dari 5 bintang.

 

Komennya, Kakak ^^

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s