Judul: Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon
Penulis: Afrizal Malna, Agus Noor, Anggun Prameswari, Budi Darma, Des Alwi, Djenar Maesa Ayu, Eep Saefulloh Fatah, Faisal Oddang, Gde Aryantha Soethama, Guntur Alam, Gus TF Sakai, Indra Tranggono, Joko Pinurbo, Made Adnyana Ole, Parakitri T. Simbolon, Putu Wijaya, Radhar Panca Dahana, Sapardi Djoko Damono, Seno Gumira Ajidarma, Tenni Purwanti, Triyanto Triwikromo, Vika Wisnu, Yanusa Nugroho, Zaidi Noor
Perancang Sampul: A.N. Rahmawanta
Ilustrasi Sampul: Yuswantoro Adi
Tebal: xvi + 200 halaman
ISBN: 978-979-709-949-7
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Blurb
Setiap tahun Kompas menerbitkan antologi Cerpen Pilihan Kompas yang disaring dari cerpen-cerpen yang telah dimuat dalam rubrik cerpen di Kompas edisi Minggu. Sebanyak 52 cerpen berkompetisi melewati lubang seleksi para juri. Perdebatan selalu tak bisa dihindari. Tahun ini para juri memberikan rekomendasi untuk menerbitkan 24 cerpen terpilih yang disaring dari cerpen-cerpen yang telah dimuat Kompas sepanjang tahun 2014. Ini jumlah terbanyak untuk isi sebuah buku antologi Cerpen Pilihan Kompas sejak pertama pemilihan diselenggarakan tahun 1992.
Hal yang paling mengejutkan, tahun ini para juri memilih cerpen “Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon” karya Faisal Oddang, seorang pengarang muda dari Makassar. Oleh sebab itu, buku ini menjadi penuh arti saat Kompas mencapai usia 50 tahun. Sejak pertama memuat cerpen tahun 1967, Kompas beranggapan bahwa menulis cerpen tak hanya memenuhi hasrat manusia untuk bercerita, tetapi juga memberi wadah akan kepentingan latihan intelektual sejak dini. SAngat menjadi harapan besar di kemudian hari lahir generasi yang mahir bernarasi, juga cakap dalam kemampuan olahpikir.
Review
Ok. Buku ini saya selesaikan dalam waktu yang cukup lama. Sampai lupa mulainya kapan. Yang pasti sempat lamaaa banget nganggur di mobil. Gara-gara saya selingi dengan buku lain. Pun, sempat lama banget malas baca buku. Malah kebanyakan baca berita online yang apalah apalah. Hedehhh …
Tapi tenang. Saya sedang berusaha kembali menggauli buku. So, kemarin saya niatkan untuk selesaiin buku ini. Tinggal separuh juga. Dan selesai hari ini.
Ada 24 cerpen dalam buku ini:
- Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon – Faisal Oddang
- Harimau Belang – Guntur Alam
- Matinya Seorang Demonstran – Agus Noor
- Lima Cerpen Sapardi Djoko Damono – Sapardi Djoko Damono
- Bukit Cahaya – Yanusa Nugroho
- Darah Pembasuh Luka – Made Adnyana Ole
- Wanita dan Semut-semut dalam Kepalanya – Anggun Prameswari
- Arsip Aku di Kedalaman Krisis – Afrizal Malna
- Dongeng New York Miring untuk Aimee Roux – Triyanto Triwikromo
- Jalan Sunyi Kota Mati – Radhar Panca Dahana
- Cerpen: Angela – Budi Darma
- Neka – Eep Saefulloh Fatah
- Garong – Indra Tranggono
- Joyeux Anniversaire – Tenni Purwanti
- Kaing-kaing Anjing Terlilit Jaring – Parakitri T. Simbolon
- Pacar Pertama – Vika Wisnu
- Menunda-nunda Mati – Gde Aryantha Soethama
- Jalan Asu – Joko Pinurbo
- Ms. Watson – Des Alwi
- Beras Genggam – Gus TF Sakai
- Bulu Bariyaban – Zaidinoor
- Travelogue – Seno Gumira Ajidarma
- Protes – Putu Wijaya
- Tenggat Waktu – Djenar Maesa Ayu
Yaaa. Banyak ya! Dan saya nggak akan bahas satu per satu. Tapi saya ada 5 cerpen favorit banget di antara yang bagus-bagus itu. Yang bikin sampai sekarang saya masih ingat betul per kata, per kalimat, dan ceritanya. Nancep deh pokoknya.
They are:
Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon – Faisal Oddang
Yaaa, yang ini memang menjadi cerpen pemenang dalam kumpulan cerpen Kompas pilihan ini. Berkisah mengenai seputar upacara pemakaman bayi di Tanah Toraja. Dan seperti juga upacara pemakaman pada umumnya di Tanah Toraja, upacara yang satu ini memang cukup rumit. Apalagi ada derajat manusia yang juga ikut berperan.
Kalau kamu bertanya-tanya apa itu Tarra, Tarra (Tarra ya, bukan Carra 😛 )adalah pohon besar berdiameter hingga 3 meter yang dijadikan tempat mengubur bayi di Toraja. Dan seperti pada umumnya kuburan di Toraja, semakin tinggi posisi bayi dikuburkan, itu juga menunjukkan derajat atau kasta si bayi.
Nah, di sini juga cerita berputar, mengenai kasta dalam masyarakat Toraja.
Ceritanya unik, banyak hal yang baru saya ketahui juga mengenai budaya Toraja yang sangat menarik itu. Hanya saja harus sabar menghadapi beberapa kata yang “asing”, sehingga harus bolak balik liat end note yang diletakkan di akhir cerita, alih-alih sebagai footnote.
Matinya Seorang Demonstran – Agus Noor
Ini kok kayak cerita tribute to Eka Kurniawan dan Ratih Kumala ya. Hahaha. Sempat kepikir, dan juga bertanya-tanya. Jangan-jangan ini true story-nya mereka. 😆 Naif banget saya.
Kisah tentang Eka yang sedang mendekati Ratih di zaman kuliah. Eka adalah seorang aktivis kampus, mahasiswa idealis tapi kere. Ya, you know-lah ya. Sedangkan Ratih sebenarnya sudah punya pacar, yang oke, tajir, ya begitulah. Cara Eka mendekati ini antara so sweet, so absurd, tapi sekaligus romantis gitu. 😆 Bikin gemes.
Yah, endingnya sih yang akhirnya berhasil bikin saya yakin, kalau ini hanya rekaan penulisnya 😆 Padahal dari awal sampai menjelang akhir saya sudah ngebayangin ini beneran true story 😆
Wanita dan Semut-semut di Kepalanya – Anggun Prameswari
Ah, soal kerumitan dalam kepala perempuan, Miss Anggun mah emang ahlinya kayaknya sih. Huahahaha. Bisa dilihat di akun Twitternya. Eh, tapi akhir-akhir ini saya jarang ngepoin sih, terutama setelah menikah dan punya anak. 😛
Tapi ini jenis cerpen yang favorit saya banget. Semua gara-gara Avianti Armand dulu yang memperkenalkan saya dengan jenis cerpen semacam ini. Sampai sekarang demen banget.
Well, antara kasihan juga sih sama perempuan yang berpikiran rumit. Ini kayak artikel saya yang soal pikiran negatif di portal sebelah itu. Hahaha. Kadang memang kita yang membuat sendiri semua pikiran itu. Iya nggak sih?
Pacar Pertama – Vika Wisnu
Ini sebenarnya pada awalnya agak sedikit membingungkan. Maksudnya, ini mau dikemanain sih? Kok ngalor ngidul.
Baru pada pertengahan nemu deh konflik utamanya.
Tentang seorang perempuan yang dijatuhi cinta oleh sahabat anaknya. Iya, semacam oedipus kompleks apalah apalah itu. Nggak terlalu paham istilah psikologisnya. Sebenarnya juga cerita cerpen ini berjalan cukup apa adanya. Hingga sampai ke twisted twist ending.
Yes, endingnya ada twist berlapis yang sangat smooth. Bikin saya berekspresi yang … haaaa … gimana ini tadi?
😆
Menunda-nunda Mati – Gde Aryantha Soethama
Beberapa kali saya menemukan, bahwa diri saya begitu terkagum-kagum saat membaca cerpen dari Gde Aryantha Soethama. Aroma Bali-nya itu lho!
Budaya Bali yang diangkatnya itu kayaknya kok ya selalu baru. Selalu yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Dan juga mengenai cara pandangnya terhadap perempuan. Sepertinya makhluk perempuan ini selalu dianggapnya mempunyai kekuatan yang mahadashyat, namun nggak semua orang melihat.
Semacam cerpen Malam Pertama Calon Pendeta di kumcer Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian, perempuan itu ternyata memang kuat sekali. Di sini pun begitu. Meski sepertinya kisahnya mengenai pertarungan dua jagoan ilmu kesaktian, tapi ternyata ada perempuan yang mengendalikan itu semua.
Baca ini, saya jadi kangen cerita Saur Sepuh dah. 😆
Ya, itu 5 cerpen terfavorit dalam buku ini.
Selain itu, sebenarnya ada juga yang … mmmm …. sebenarnya sih keren kalau ditulis oleh orang lain. Tapi berhubung ini penulisnya sudah yang matang begini, sehingga membuat tulisannya biasa-biasa saja. Maksudnya, misalnya kayak Tenggat Waktu-nya Djenar Maesa Ayu.
Kalau cerpen ini ditulis oleh bukan Djenar, saya pasti akan langsung mengaguminya. Tapi beberapa kali baca tulisan Djenar … ini sepertinya kurang kalau seukuran dia. If you know what I mean.
Dan, iyaaaahhh … meski ada karya SGA di sini, tapi ternyata saya nggak favoritin. Karena ya gitu, kalah sama kelima cerpen di atas 😀 hehehe.
Overall, buku ini memang kental banget lokalitasnya. Sebut saja Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon, lalu ada Harimau Belang, Neka, Menunda-nunda Mati, Jalan Asu, Beras Genggam, Kaing-kaing Anjing Terlilit Jaring, dan Bulu Bariyaban, semuanya mengusung tema lokalitas. Atau setidaknya ada lokalitas yang tersentuh dalam porsi yang cukup.
4 dari 5 bintang yang saya punya.
One Comment Add yours