Judul: Janji Es Krim
Penulis: Nimas Aksan
ISBN : 978-602-7572-00-3
Jumlah Halaman : x + 268 hlm
Penerbit: Stiletto Book
Blurb
Mia Aminatiara, cewek lajang di usia akhir dua puluhan, pemegang rekor kesialan tak terpecahkan. Sembilan kali diputusin cowok, dan sembilan kali dipecat dari pekerjaannya. Ketika dia mulai merasa ada yang salah dalam hidupnya, seorang sahabat lama mengingatkannya akan sebuah nazar yang belum ditepati di masa SMA dulu. Menurut Dudi, sahabatnya, nazar yang tak pernah ditepati itulah penyebab kesialannya. Mia tergerak untuk menepatinya sesegera mungkin.
Masalahnya, untuk memenuhi nazar tersebut, Mia harus mencari seorang teman lama bernama Karin. Gadis kaya yang sombong dan pengatur. Bersama Dudi, dia mencoba mencari jejak Karin, yang tanpa diduga justru membawanya pada sebuah petualangan rahasia cinta dengan seorang pria penuh pesona, Vladimir Gardiansyah. Namun sialnya, Gardi adalah tunangan Karin.
Bagaimana akhir petualangan Mia? Apakah dia bisa membuang semua kesialannya? Dan, bagaimana pula akhir dari kisah cinta segitiga antara Mia, Karin dan Gardi?
Alur Cerita
Janji Es Krim termasuk genre chicklit. Seperti yang sudah kita ketahui bersama *ini kok bahasanya jadi resmi amat yak*, genre chicklit selalu diwarnai dengan celotehan-celotehan cewek-cewek modern ala metropolitan, meski ga melulu hedon. Cerita biasanya hanya dan akan lebih banyak berputar di sekeliling si tokoh utama, yang bergender perempuan *iyalah, namanya juga CHICKlit. Kalo tokoh utamanya cowok, jadinya apa? BOYlit? GUYlit? BRADERlit?* dibandingkan dengan kisah cicicicicicintaannya sendiri. Itu kalo ada cerita cicintaannya. Tapi mana ada sih, novel yang ga ada cicintaannya. Pasti ada, dikit-dikit. CMIIW.
Kembali ke chicklit, namanya juga chick-literature gitu ya. Jadi yang dibahas biasanya adalah kehidupan si tokoh ceweknya, bisa usahanya meraih mimpi, cerita perjuangannya mencari jati diri dan lain-lain.
Nah, kalau di Janji Es Krim? Tak lain, perjuangan si tokoh perempuan untuk membuang sial.
Jadi, diceritakan ada seorang cewek, bernama Mia Aminatiara, berusia di akhir dua puluhan, terjangkiti kesialan seumur hidupnya. Dia dipecat dari 9 pekerjaan yang berbeda dalam waktu tak lebih dari dua bulan dari awal masuk kerja, dia juga diputusin oleh 9 pacar terdahulunya, kehidupannya dalam keluarga juga menjadi yang kedua setelah Nia, kakaknya. Nia is super-perfect. Mia? Selalu salah. *eh, tapi selalu ada kayaknya yang menjadi selalu salah begini, dalam keluarga, dalam komunitas kita. Iya ga sih?* 😆
Dan Mia pun mencurahkan kegalauannya ini pada Dudi, sahabatnya. Hingga suatu hari, Mia dan Dudi bertemu dengan Madame Vera. Dia ini, adalah perempuan gipsi yang bisa meramal. Madame Vera, yang pertemuannya dengan Mia agak-agak sangat kebetulan itu, berkata bahwa aura tubuh Mia jelek. Mia selalu mendapat sial, karena ada nazar atau janji yang belum dilunaskannya. Mia sebenarnya sudah lupa ia pernah berjanji apa atau pada siapa. Dudilah yang kemudian mengingatkan Mia tentang nazar yang sempat dibuatnya ketika mereka masih duduk di bangku SMA. Namun Mia ternyata tak hanya mengucapkan nazar itu pada Dudi, namun juga pada Karin.
Jadi, mereka kini harus menemukan Karin!
Dan tak perlu berpanjang-panjang, Karin pun mereka temukan. Hidup di Bandung sebagai gadis kaya raya sombong pengatur ga tahu diri. Lah, sinetron banget! 😆 So, PR untuk Mia, dan juga Dudi sebagai sahabat, untuk “membawa” Karin kembali ke Jakarta untuk pemenuhan nazar.
Gampang? Sama sekali tidak!
Pada akhirnya, Mia terjebak lika liku hubungan ruwet Gardi – Karin – Bryan yang melibatkan seluruh keluarga besar Gardi *calon suami Karin* dan Karin sendiri. Mau tahu gimana ruwetnya? Dan bagaimana solusinya? Mendingan dibaca sendiri. Nanti malah jadi cerpen inih.
Review
So here’s my review. Buku ini saya selesaikan lumayan lama. Dari tanggal 8 Mei, dan saya baru menyelesaikannya tanggal 25 Mei 2014. Fyuhhh! 😆
Ide awal cerita cukup lucu dan simpel, tentang nazar yang belum dilunaskan. Kata orang kan memang kalau sudah nazar, kalau nggak dipenuhi kita bakalan dilanda kesialan menahun.
Perjalanan Mia selama di Bandung cukup rumit dan ruwet. Konfliknya sangat jelas, dan juga cukup berat. Banyak alur tambahan yang juga dimasukkan sebagai bumbu penambah keruwetan. Namun ter-mix dengan cukup lucu khas chicklit.
Dari awal cerita hingga mungkin dua pertiga cerita, alurnya stagnan. Cenderung lambat. Saya agak kesulitan memotivasi diri *halah* untuk tetap fokus membaca. 😆 artinya, saya agak bosan. Dan itu memang penyakit saya kalau baca novel. Jadi jangan salahkan novelnya. Mendekati sepertiga akhir, baru deh kerasa cepet alurnya. Nah, malah jadi agak keteteran sih sepertinya.
Tiba-tiba saja Nia ada di rumah sakit. Tiba-tiba saja Mia jadi manajer Es Krim Yoyo. Tiba-tiba saja Mia ketemu dengan seseorang yang juga kenal Dudi, yang kemudian membawa Mia kembali untuk mencari Dudi. Tiba-tiba saja, Dudi membawa Karin menemui Mia. Tiba-tiba saja Karin jadi ramah. Tiba-tiba saja Gardi juga datang kembali. Lalu tiba-tiba saja, Mia sudah jadi c… spoiler!!!! Ga jadi bilang deh. 😈
Namun overall, sebenarnya novel ini menyimpan pesan moral yang bagus. Jangan pernah mengkambinghitamkan hal lain, kesialan diri biasanya disebabkan juga oleh sikap diri sendiri. Sebelum menyalahkan pihak lain, ada baiknya lebih dulu introspeksi.
Tokoh
Ada beberapa tokoh novel yang menarik perhatian saya 😀
- Mia Aminatiara. Tentu saja, sang tokoh utama. Dia ini sebenarnya cantik, cerdas, lucu. Tapi karakternya dikerdilkan oleh keluarganya sendiri, terutama mamanya. Mia selalu merasa menjadi anak nomor dua. Semua untuk Nia, kakaknya. Dari mulai baju, ia pun mendapat warisan dari Nia. Apa-apa, mamanya selalu membandingkannya dengan Nia. Meh. PR banget ini buat para orang tua. Jangan sampai membanding-bandingkan anak. Dampaknya sangat buruk untuk perkembangan psikologisnya. Ketika dia jauh dari keluarganya, ternyata dia bisa tuh melakukan apa pun tanpa kesalahan. Dia bisa tampil cantik, dia bahkan sukses merencanakan berbagai pesta untuk orang lain.
- Dudi, sahabat Mia. Cowok yang sedikit melambai, punya passion di dunia kuliner terutamanya per-kue-an. Dia heboh banget mau ngebantuin Mia untuk membawa Karin kembali ke Jakarta untuk melunasi nazar Mia. Dia juga yang paling marah ketika Mia terlibat konflik antara Gardi dan Karin. Dan seperti layaknya sahabat sejati, Dudi melupakan konfliknya sendiri dengan Mia dan akhirnya membawa Gardi kembali ke hidup Mia.
- Karin. Perempuan sinetron. Eh, maksudnya bukan perempuan yang suka sinetron sik 😆 Tapi perempuan yang punya sifat-sifat seantagonis tokoh sinetron. Keras, manja, suka ngatur, self centered girl dan lain-lain. Tapi dalam cerita akhirnya juga dijelaskan, bahwa lagi-lagi Karin merupakan anak korban keluarga. Ia “dikorbankan” oleh keluarganya demi sebuah tujuan bisnis.
- Gardi. Calon suami Karin. Perfect guy. The prince charming buat Mia 😆 Gardi-lah yang bisa membuat Mia menjadi pribadi yang positif. Selama bersama Gardi, Mia tak pernah menunjukkan tanda-tanda kesialan dirinya. Kadang ada kan orang yang begini. Kita selalu salah di satu kondisi, namun begitu orang ini dateng, tiba-tiba saja kita jadi ikutan positif. Yeah, he’s that kinda guy 😀
- Desvita Doddy. Oh, sebenernya dia tak terlalu berperan penting. Tapi sumpah, tokoh satu ini sangat mencuri perhatian saya 😆 Setiap kali dia muncul dalam cerita, saya selalu membayangkan Ivan Gunawan. Hahahahaha… Baca sendiri deh, kamu akan tahu kenapa.
Quotes
Ada banyak quotes yang menarik dalam novel ini. Di antaranya bahkan mengajarkan kita untuk selalu bersikap positif terhadap diri kita sendiri.
Jangan salah. Bukannya aku pilih-pilih. Mereka saja yang tak pantas dipertahankan.
Masa-masa pre-menstruasi adalah masa-masa pengasingan untuk semua mantan pacarku.
Apa dia nggak ngerti juga bahwa Nia adalah gerhana bagi hidupku? Bayangan bulan yang menutupi bumi dari matahari?
Pesta pernikahan bagi sebagian besar perempuan, bisa dianggap jauh lebih penting daripada mempelai prianya.
Bersama Gardi aku justru menemukan sisi-sisi terbaik dalam diriku.
Cinta saja tidak cukup untuk membina sebuah rumah tangga. Kalau cinta saja tak cukup, lalu apa yang harus jadi pelengkapnya?
Kepercayaan. Sekali kita dikhianati, akan sulit untuk memaafkan.
Hidup itu tak harus selalu sempurna. Hidup itu ketidaksempurnaan.
Apa yang menimpa gue bukanlah kesialan, tapi karena kecerobohan dan sikap negatif gue.
Overall, memang selalu ada sisi positif dari setiap peristiwa yang kita alami. Dalam fiksi pun. 😆 Yes?
Tiga dari lima bintang untuk buku ini.
Gak mirip film nasional ya mbak? yang mainnya siapa tuh ya lupa
LikeLike